Gunung Kelud |
Ini adalah cabang ilmu baru. Dengan menggunakan ilmu ini, maka segala
hal bisa dicocok-cocokkan dengan al-Qur’an, sumber hukum paling utama
dalam ajaran Islam. Dimulai dari musibah.
Mengapa harus
mulai dari musibah? Ya, karena musibah adalah suatu hal yang dapat
dengan mudah menyentuh hati manusia. Selain itu, musibah juga secara
otomatis mengingatkan manusia kepada Sang Pencipta. Bahkan orang ateis
pun – konon – ketika berada dalam situasi genting, akan kelepasan
ngomong “Ya Tuhan!” Kalau seorang ateis pun bisa begitu, apatah lagi
rakyat Indonesia yang dikenal sangat religius ini.
Meletusnya
Gunung Kelud belum lama ini jelas membuat semua orang kaget. Selama
berabad-abad, Gunung Kelud telah dinyatakan non-aktif. Tiba-tiba saja,
sejak 2010, gunung yang satu ini aktif kembali, hingga akhirnya meletus
di awal tahun 2014 ini. Letusannya pun tak tanggung-tanggung. Angin yang
bertiup ke arah Barat menyapu Yogyakarta, Solo dan sekitarnya dengan
abu vulkanik. Beberapa bandara terpaksa ditutup karena tak ada pilot
waras yang mau menerbangkan pesawatnya di tengah hujan abu vulkanik yang
demikian dahsyat.
Marilah kita mulai mencocokkan.
Meletusnya Gunung Kelud terjadi pada tanggal 13 Februari 2014 sekitar
pukul 22:49 WIB. Data inilah yang akan jadi landasan berpijak kita.
Paling tidak, ada dua metode yang lazim digunakan dalam ilmu Cocoklogi ini. Pertama, cocokkan hari dan bulan kejadian dengan surah dan ayat dalam Al-Qur’an. Kedua, cocokkan jam dan menit kejadian dengan surah dan ayat dalam Al-Qur’an. Mudah, bukan? Mari kita coba!
Dengan metode pertama, kita temukan ayat ke-2 dalam Surah ke-13 sebagai berikut:
Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu. (QS. Ar-Ra’d [13]: 2)
Dengan
membaca kandungan ayat di atas, jelaslah bahwa musibah meletusnya
Gunung Kelud (dan kejadian-kejadian sesudahnya, termasuk hujan abu)
semestinya mengingatkan kita kepada kebesaran Allah SWT. Mungkin manusia
selama ini sudah terlampau jauh melupakan kuasa-Nya, sehingga Allah SWT
menegur manusia dengan cara yang tidak kita sangka-sangka.
Beralih kepada metode kedua, kita cek ayat ke-49 dalam Surah ke-22 sebagai berikut:
Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan yang nyata kepada kamu”. (QS. Al-Hajj [22]: 49)
Senada
dengan ayat sebelumnya, ternyata musibah seputar Gunung Kelud memang
berfungsi sebagai peringatan yang nyata bagi seluruh manusia. Di sini,
Gunung Kelud seolah-olah ‘bekerja’ menyerupai Nabi Muhammad saw. Sebab,
yang diperintahkan untuk angkat bicara dan memberi peringatan kepada
manusia dalam ayat di atas sesungguhnya adalah Nabi Muhammad saw. Tapi
analogi ini bolehlah kita terima.
Erupsi Gunung Kelud |
Dengan menggunakan kedua
metode berdasarkan ilmu Cocoklogi di atas, memang nampaknya sangat pas.
Musibah meletusnya Gunung Kelud ini adalah sebuah peringatan bagi
manusia yang sudah melampaui batas. Saatnya kita bertaubat. Namun tidak
ada salahnya kita memberikan sejumlah pengujian kepada metode yang
‘masih bayi’ dan serbabaru ini.
Pertama, jika
kedua ayat di atas sebenarnya berbicara tentang hal yang sangat umum.
Kebesaran Allah SWT pada QS. 13:2 dan peringatan kepada manusia pada QS.
22:49 adalah hal yang umum yang sebenarnya berlaku dalam segala
kondisi. Karena itu, patutlah kita bertanya: apa bedanya musibah yang
satu ini dengan musibah yang lain? Mengapa harus menunggu musibah pada
tanggal 13 Februari pukul 22:49 WIB dulu baru kita mengingat kebesaran
Allah dan memperhatikan peringatan dari-Nya? Kalau musibah terjadi pada
tanggal lain dan jam lain, apakah kita tidak perlu melakukan hal yang
sama? Jika semua musibah semestinya mengingatkan kita pada kebesaran
Allah dan peringatan dari-Nya, maka apa istimewanya musibah kali ini?
Kedua,
dengan berpegang pada kedua metode Cocoklogi tadi, maka sebenarnya kita
pun dapat menyimpulkan adanya waktu-waktu saat musibah tak mungkin
terjadi. Berdasarkan metode pertama, musibah takkan terjadi pada setiap
tanggal 1 Agustus, 1 September, 1 Oktober, 1 November dan 1 Desember.
Sebab, tanggal-tanggal ini akan merujuk pada ayat ke-8, 9, 10, 11 dan 12
dalam Surah pertama. Padahal, semua orang tahu bahwa Surah Al-Fatihah
hanya tujuh ayat!
Berdasarkan metode kedua, kita dapat
simpulkan pula bahwa musibah takkan terjadi antara jam-jam tertentu.
Jam-jam ‘bebas musibah’ itu adalah pukul 00:00-00:59 (karena tak ada
Surah ke-0), pukul 01:08-01:59 (karena Surah ke-1 hanya sepanjang tujuh
ayat), dan pukul 14:53-14:59 (karena Surah ke-14 hanya sepanjang lima
puluh dua ayat).
Selain itu, dapat pula kita simpulkan
bahwa mulai dari Surah ke-32 (As-Sajdah) hingga ke-114 (An-Naas) tidak
dapat dimanfaatkan untuk mencari hikmah dari musibah apa pun. Sebab,
metode pertama hanya menggunakan maksimal hingga Surah ke-31 (Luqman),
dan metode kedua hanya menggunakan maksimal hingga Surah ke-23
(Al-Mu’minuun).
Ketiga, dengan sedikit pengujian,
kita dapat melihat bahwa poin kedua di atas tidak terbukti benar.
Sebab, nyatanya ada juga musibah yang terjadi pada tanggal 1 Agustus,
misalnya. Pada tahun 2012, banjir besar terjadi di Ambon, mengakibatkan
berbagai kerusakan akibat banjir, longsor, dan juga menimbulkan korban
jiwa dan sejumlah masyarakat harus mengungsi. Dengan menggunakan metode
pertama dalam ilmu Cocoklogi, maka musibah yang satu ini menjadi tak
bermakna. Adapun metode kedua tidak dapat digunakan, karena tidak mudah
menetapkan jam dan menit ketika banjir terjadi.
Pada
tanggal 28 Januari 2014 yang lalu, terjadi bencana longsor di Jombang.
Waktu kejadiannya adalah pada pukul 01:30 WIB. Dengan menggunakan metode
kedua, penafsiran akan menemukan jalan buntu, karena tidak ada QS.1:30.
Adapun dengan menggunakan metode pertama, kita akan sampai pada ayat
sebagai berikut:
Thaa Siin Miim. (QS. Al-Qashash [28]:1)
Tentu
saja penafsiran ini pun problematis, sebab hingga detik ini tak ada
yang dapat secara meyakinkan memberikan pemaknaan terhadap ayat-ayat
yang semacam ini. Ayat-ayat seperti ini disebut sebagai ayat-ayat mutasyabihat, yaitu yang maknanya tidak diketahui secara pasti. Untuk menafsirkan yang semacam ini, “Wallaahu a’lam” adalah jawaban yang paling tepat.
Keempat,
kita perlu mengingat juga bahwa ilmu Cocoklogi ini bergantung pada dua
hal: kalender Gregorian dan zona waktu. Kedua-duanya adalah hasil
kesepakatan manusia. Belum lama ini bahkan ada wacana untuk menyatukan
seluruh wilayah Indonesia ke dalam satu zona waktu. Artinya pula, jika
ada kesepakatan lain, kita bisa saja membagi wilayah Indonesia ini
menjadi lima, enam atau tujuh zona waktu. Andaikan Zona WIB terbagi dua,
dan Gunung Kelud berada pada wilayah yang lebih di timur, maka
anggaplah ada perbedaan waktu setengah jam dengan wilayah yang di barat.
Maka, waktu kejadian tidak akan menjadi 22:49, melainkan 23:19.
Jika
kita mengecek ayat ke-19 dalam Surah ke-23, kita akan temukan ayat yang
justru sama sekali tidak berbicara tentang musibah. Dalam ayat ini,
Allah berfirman:
Lalu dengan air itu, Kami tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma dan anggur; di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak dan sebahagian dari buah-buahan itu kamu makan. (QS. Al-Mu’minuun [23]: 19)
Kelima,
kita pun perlu bersikap kritis. Siapakah ulama yang mendukung ilmu
Cocoklogi ini? Jika memang ilmu ini sangat tepat untuk mengungkap hikmah
di balik berbagai peristiwa, mengapa ia hanya beredar melalui broadcast, e-mail dan media sosial? Mengapa tak ada nasihat resmi dari MUI, MIUMI, DDII atau Ikadi yang menggunakan ilmu ini?
Keenam
dan terakhir, kita pun perlu mewaspadai pengembangan dari ilmu
Cocoklogi ini. Jangan-jangan, kelak akan digunakan pula untuk meramal
masa depan anak. Tanggal dan waktu kelahiran anak dicocok-cocokkan
dengan Al-Qur’an untuk meramal pekerjaan yang tepat baginya, atau
semacamnya. Atau tanggal dan waktu kelahiran dicocok-cocokkan dengan
calon suami atau istri, untuk mengetahui cocok-tidaknya mereka untuk
menjadi pasangan sehidup-semati.
Betapa tipis jarak antara iman dan syirik.
*Ditulis oleh Akmal Sjafril
No comments:
Post a Comment