Bobotoh Persib - The Jakmania |
Berikut sebuah artikel dari seorang Bobotoh (pendukung) Persib Bandung, @ekomaung
***
Di era teknologi informasi dan semua
orang begitu mudah mendapatkan informasi utamanya melalui media-media
sosial dan media online, karena diterima secara masiv dan cepat, maka
seringkali hal-hal yang sesungguhnya keliru menjadi dianggap benar dan
semakin disebarluaskan. Maka sebelum membahas perseteruan antara kedua
kelompok suporter, ada baiknya kita meluruskan persepsi yang belakangan
semakin keliru dan mengganggu.
Pertama adalah kekeliruan mengenai
sejarah klub itu sendiri, banyak media baru yang menganggap dan
meyakinkan banyak orang bahwa PERSIB vs Persija adalah laga klasik,
bergengsi yang sejak dulu tak hanya seru didalam lapang namun juga luar
lapang dan melibatkan banyak hal termasuk perseteruan suporter semenjak
jaman perserikatan. Kenyataannya adalah: duel klasik yang melibatkan
massa besar dan suporter fanatik serta layak disebut musuh bebuyutan
bagi PERSIB diera perserikatan adalah laga-laga menghadapi duo ayam,
yaitu Ayam Kinantan (PSMS Medan) dan Ayam Jantan Dari Timur (PSM
Makasar)+bolehlah kita masukkan juga Persebaya Surabaya sebagai seteru.
Ya!, Bandung, Medan, Surabaya, dan
Makasar adalah 4 kota yang dapat kita katakan memiliki tradisi sepakbola
yang mengakar, maka tak heran suporter sepakbola ini mencakup 3
generasi (Kakek, Ayah , Anak), ini berbeda dengan kota-kota lain yang
memiliki suporter yang identik dengan kelompok suporter (biasanya
memiliki embel-embel mania dibelakangnya), bisa dipastikan eksistensi
suporter jenis ini adalah trend yang menjamur diera pasca kompetisi
perserikatan, termasuk Jakmania. Sehingga adalah kekeliruan besar bagi
mereka yang mengatakan laga Persija vs PERSIB adalah laga klasik yang
melibatkan suporter kedua tim selama puluhan tahun, dan lebih gilanya
lagi ada juga media yang menyesatkan umat dengan mengatakan bahwa
kandang Persija diera perserikatan adalah stadion Senayan, padahal
kandang Persija diera perserikatan adalah stadion menteng yang sekarang
telah digusur.
Jika dikatakan bahwa Persija Jakarta
pernah menjadi tim bagus diera perserikatan, ya itu betul karena mereka
memang memiliki masa-masa itu tapi tetap harus diingat bahwa prestasi
bagus Persija dimasa lalu tidak berbanding lurus dengan jumlah massa
pendukung mereka, sebelum lahirnya Jakmania penonton laga Persija
hanyalah simpatisan-simpatisan dan keluarga pengurus yang jumlahnya
tentu tidak seberapa.
Perlu diketahui juga oleh para bobotoh
muda bahwa jika membicarakan tim Jakarta yang layak diperhitungkan saat
kita berbicara era awal liga Indonesia maka tim itu adalah tim Pelita
Jaya Jakarta, mereka memiliki kelompok pendukung bernama the Commandos
yang identik dengan anak-anak kaya, cewek-cewek cantik, yang tentu saja
jumlahnya sangat-sangat sedikit, bahkan stadion mini mereka yaitu
stadion lebak bulus pun tak pernah penuh jika Pelita Jaya bermain.
Kembali ke Persija, diawal era liga
Indonesia (sekitar tahun 1994-1995), Persija dapat dikatakan tim yang
tak diperhitungkan, minim dana, pemain-pemain gurem, stadion menteng
yang kurang perawatan dan selalu sepi, dan satu hal yang perlu diingat
bahwa warna tim Persija adalah merah bukan oranye seperti sekarang.
Semua berubah sekitar tahun 1997, adalah seorang gugun gondrong pelaku
utamanya, dalam sebuah memoar yang saya ingat dia pernah mengatakan
cukup gerah dengan ke Jakartaan kota Jakarta yang semakin tersingkir
oleh pendatang, salah satu parameternya dari kehadiran penonton
sepakbola saat Persija bermain.
Jika Persija menjamu PSMS yang menuhin
stadion menteng pastilah orang batak, jika menjamu PSIS atau persebaya
pastilah orang jawa yang mendominasi, begitupun saat meladeni PERSIB,
pastilah urang sunda yang menyesaki menteng. Intinya disanalah gugun
mulai menyentuh sisi emosional orang-orang yang sehari-hari hidup di
Jakarta bahwa saatnya menanggalkan klub daerah masing-masing dan
mendukung tim dimana mereka beraktivitas yaitu Persija. Dan tentu saja
bukanlah hal mudah untuk menyentuh sisi emosional ini, apalagi memaksa
seseorang untuk mendukung salah satu tim sepakbola. Hal ini perlu
dirangsang dan bersambutlah seorang Sutiyoso yang membutuhkan “kelompok
sayap” untuk menopang kekuatan politisnya, 2 yang paling menonjol
menurut saya adalah upaya sutiyoso untuk menggandeng Jakmania dan FBR,
saya tak taulah tentang FBR, namun untuk Jakmania saya tahu bahwa mereka
dirangsang dengan tiket-tiket gratis bahkan disediakan hingga tingkat
kelurahan, dan upaya rekayasa membangun fanatisme ini diupayakan juga
dengan angkutan-angkutan umum gratis seperti metromini yang menjemput
dan mengangkut mereka ke stadion. Sungguh berbeda bukan dengan fanatisme
alami ala bobotoh yang harus mencari setengah mati tiket-tiket berharga
mahal dan susah payah mencapai lokasi pertandingan.
Pasca sentuhan Sutiyoso inilah Persija
dan suporternya bertransformasi memasuki era baru yang membuat mereka
diperhitungkan. Berbicara mengenai pembangunan suporter, Jakmania pun
tentunya memerlukan rujukan dan konon kota Bandunglah yang mereka
jadikan rujukan, maka tak perlu heran jika pengurus-pengurus Jakmania
pada awalnya justru sering berkunjung ke bilangan gurame di kota Bandung
untuk “belajar”, tepatnya di markas salah satu kelompok bobotoh yaitu
Viking. Maka tak perlu heran jika pada awalnya pengurus kedua kelompok
suporter ini sebenarnya saling mengenal dan jauh dari bayangan keadaan
saat ini. Lebih jauhnya saya tak ingin terlalu banyak menulis mengenai
ini karena saya hanya mendengar sepotong-sepotong saja dan khawatir itu
pun tidak valid seutuhnya. Oleh karena itu saya ingin langsung beranjak
kepada salah satu momentum yang saya alami sendiri yaitu bentrokan
pertama suporter PERSIB dengan Jakmania, saya sengaja mengatakan
“suporter PERSIB”, dan bukannya menyebut Viking ataupun bobotoh karena
konon yang terlibat dalam bentrokan ini bukanlah anak-anak Viking tapi
menyebut bobotoh pun tak elok karena dapat menyeret dan menggeneralisir.
No comments:
Post a Comment